BATU
Karya: Sutardji Colzoum Bachri
Batu mawar
Batu langit
Batu duka
Batu rindu
Batu jarum
Batu bisu
Kaukah itu
Teka
teki
yang
tak menepati janji?
Dengan seribu gunung langit tak runtuh
Dengan seribu perawan
hati tak jatuh
Dengan seribu sibuk sepi tak mati
Dengan seribu beringin ingin tak teduh
Dengan siapa
aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai
Mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai
Mengapa peluk diketatkan sedang hati tak sampai
Mengapa tangan melambai sedang lambai tak sampai. Kau
tahu?
Batu risau
Batu pukau
Batu Kau-ku
Batu sepi
Batu ngilu
Batu bisu
Kaukah itu?
Teka teki yang tak menepati
janji?
A.
Biodata Sutardji Colzoum Bachri
Lahir di Rengat, Indragiri Hulu,
pada 24 Juni 1941, Sutardji Calzoum Bachri tumbuh dewasa menjadi seorang
penyair Indonesia yang terkemuka. Setelah lulus
SMA ia melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik jurusan Administrasi
Negara, Universitas Pajajaran, Bandung, kemudian ia mengirimkan sajak-sajak dan
esainya ke media massa di Jakarta, seperti Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana,
majalah bulanan Horison, dan Budaya Jaya.
Sutardji Calzoum Bachri tampil sekitar
tahun 1967. Ia penyair yang mulai menggemparkan dunia sastra Indonesia
sekitar tahun 1972 – 1973, yaitu dengan pembacaan sajak-sajak yang bernapas
baru yang dikumpulkan dalam kumpulan O, yang pertama kali terbit dalam
bentuk stensilan tahun 1973. Sajak-sajak Sutardji itu dianggap oleh sementara
orang sebagai sajak-sajak yang sudah mengganitikan kedudukan sajak-sajak
Chairil Anwar untuk memimpin perkembangan puisi Indonesiamodern selanjutnya.
Sebab sajak-sajak Sutardji sungguh-sungguh baru, lain dari corak sajak-sajak
Chairil Anwar. Dengan hadirnya sajak-sajak Sutardji ini mulailah perkembangan
baru dalam dunia perpuisian Indonesia.
Setiap penyair mempunyai kekhususan
dalam mempergunakan bahasa dalam sajak-sajaknya. Sutardji Calzoum Bachri pun
mempunyai kekhususan dalam penggunaan bahasa dalam sajaknya yang dapat
menimbulkan kepuitisan tertentu.
B.
Pengertian Pendekatan Stuktural
Struktur merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu
bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur
itu. Berikut ini ada beberapa pendapat para ahli mengenai pendekatan
struktural, yaitu suatu metode atau cara pencarian terhadap suatu fakta yang
sasarannya tidak hanya ditujukan kepada salah satu unsur sebagai individu yang
berdiri sendiri di luar kesatuannya, melainkan ditujukan pula kepada hubungan
antar unsurnya (Fokemma, 1977 : 21). Analisis struktural merupakan tugas
prioritas atau tugas pendahuluan. Sebab karya sastra mempunyai kebulatan makna
intrinsik yang dapat digali dari karya itu sendiri (A. Teew. 1984 : 135).
C. Analisis Puisi Berdasarkan Pendekatan
Struktural
Setiap penyair mempunyai gaya
tersendiri dalam penggunaan bahasa pada sajak-sajaknya. Hal ini ditentukan oleh
jalinan-jalinan bahasanya, mulai dari kosa kata, bentuk tata bahasa, pemilihan
kata, sampai dengan penggunaan kalimatnya. Untuk mengetahui strukturnya yang
kompleks ini perlu ada analisis, seperti yang dikatakan Knox C. Hill (1966: 6)
bahwa suatu tulisan yang rumit (kompleks) dapat dimengerti dengan baik hanya
jika dianalisis. Ada bermacam-macam cara menganalisis, tetapi tidak semua
analisis sama baiknya.
Sebuah analisis yang tidak tepat hanya
akan menghasilkan fragmen-fragmen. Selanjutnya dikatakan oleh Hill bahwa
analisis yang bagus akan menunjukkan bagian sebagai bagian, dan akan membawa
suatu pengertian tentang keseluruhan sebagai suatu keseluruhan. Dengan
demikian, dalam analisis yang berikut penulis menggunakan pendekatan
struktural, yaitu pendekatan yang menganalisis struktur bahasa puisi ke dalam
unsur-unsur pembentukannya.
Pendekatan struktural adalah
suatu metode atau cara pencarian terhadap suatu fakta yang sasarannya tidak
hanya ditujukan kepada salah satu unsur sebagai individu yang berdiri sendiri
di luar kesatuannya, melainkan ditujukan pula kepada hubungan antar unsurnya.
Pendekatan
Struktural yang dipergunakan, akan menghasilkan gambaran yang jelas terhadap
diksi, citraan, bahasa kiasan, majas,dan sarana retorika yang digunakan
pengarang dalam menulis puisinya.
1. Diksi (Pilihan Kata)
Diksi merupakan pemilihan kata yang tepat, padat, dan
kaya akan nuansa makna dan suasana sehingga mampu mengembangkan dan
mempengaruhi daya imajinasi pembaca.
Dalam puisi “BATU” pengarang (penyair) mencoba menyeleksi
kata-kata yang dipakainya, sehingga kata-kata tersebut benar-benar mendukung
maksud puisinya.
Seperti
pada bait:
Batu langit
Batu duka
Batu rindu
Batu janun
Analisis;
pada bait diatas penyair menggunakan kata-kata yang mempengaruhi imajinasi pembaca.
Kata-kata yang digunakan membuat pembaca berfikir maksud puisi tersebut, sebab
pemilihan kata yang digunakan bukanlah kata yang sebenarnya, sehingga sulit
untuk dipahami.
2. Pengimajian (citraan)
Pengimajian adalah kata atau susunan kata yang dapat mengungkapkan
pengalaman sensoris seperti penglihatan, pendengaran dan perasaan. Pada puisi “BATU”
pengimajian yang digunakan oleh pengarang terdapat pada:
-
Citra penglihatan, pada bait:
Dengan seribu gunung hati tak runtuh
Dengan seribu beringin ingin tak teduh
-
Citra pendengaran, pada bait:
Mengapa gunung harus meletus
Sedang langit tak sampai
-
Citra perasaan, pada bait:
Dengan seribu perawan hati tak jauh
Dengan siapa aku mengeluh?
3. Kata-Kata Konkret
Kata
konkret adalah kata-kata yang dapat menyarankan kepada arti yang menyeluruh.
Kata-kata konkret yang jika dilihat secara denotatif sama, tetapi secara
konotatif mempunyai arti yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi
pemakaiannya. Pengonkretan kata berhubungan erat dengan pengimajinasian,
pengembangan dan pengiasan.
Pada puisi “BATU” kata-kata konkret terdapat pada
bait:
Dengan seribu beringin
Ingin tak teduh
Analisis:
dimana penyair menggambarkan banyaknya tempat berteduh, tetapi tidak ada rasa ingin berteduh.
Sedangkan
pada bait:
Batu langit
Batu duka
Batu rindu
Batu janun
Analisis:
penyair meletakan makna konotasi dimana semua batu tidak ada dilangit ataupun
merasakan duka dan rindu.
4. Bahasa
Figuratif (Majas)
Bahasa
figuratif adalah cara yang digunakan oleh penyair untuk membangkitkan dan menciptakan
imajinasi dengan menggunakan gaya bahasa, perbandingan, kiasan, pelambangan,
dan sebagainya. Bahasa figuratif yang digunakan dalam puisi “BATU” adalah
sebagi berikut:
-
Personifikasi adalah kiasan yang memersamakan benda
dengan manusia, di mana benda mati dapat berbuat seperti manusia. Hal ini
terdapat pada bait:
Batu duka
Batu rindu
Analisis:
dalam kehidupan nyata, semua batu tidak ada yang merasakan duka dn rindu, sebab
batu adalah benda mati, bukan manusia.
-
Perumpamaan epos adalah perbandingan yang dilanjutkan
atau diperpanjang yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat
pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat atau frase berturut-turut. Pada bait:
Dengan seribu gunung
Langit tak runtuh
Analisis:
perumpamaan begitu banyaknya benda yang ada seperti gunung, tetapi langit tidak
runtuh.
-
Metafora di tiap sajaknya ada beberapa atau banyak terdapat
metafora, yang membuat hidup dan menambah kepuitisan.
Metafora di situ merupakan ucapan yang
sampai kepada hakikat, sampai pada intinya, dan menjadi simbolik. Ungkapan itu
bukanlah mempergunakan logika biasa. Pada bait:
Mengapa jam harus berdenyut
Sedang darah tak sampai
Analisis:
kata jam dan darah menjadi simbol dalam puisi ini.
-
Sinekdos pada umumnya dengan menyebut bagian sebagai keseluruhan
atau keseluruhan untuk menyebut bagian. Sinekdos ini membuat lukisan langsung
pada hakikatnya yang ditunjuk atau pada pusat perhatian. Begitulah sinekdos
yang dipergunakan oleh Sutardji. Pada umumnya sinekdos yang terdapat dalam
sajaknya adalah pars pro toto atau bagian untuk keseluruhan.
Pada bait:
dengan seribu gunung langit tak runtuh
dengan seribu perawan hati tak jatuh
dengan seribu sibuk sepi tak mati
dengan seribu beringin ingin tak teduh
Dengan siapa
aku mengeluh?
mengapa jam harus berdenyut sedang darah
tak sampai
mengapa gunung harus meletus sedang langit tak
sampai
mengapa peluk diketatkan sedang hati tak sampai
mengapa tangan melambai sedang lambai
tak sampai. Kau tahu?
Analisis:
Seribu gunung,
perawan, sibuk, beringin, adalah pars pro toto.
5. Verifikasi
(rima, ritme dan metrum)
-
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Pada bait:
dengan seribu
gunung
langit tak
runtuh
dengan seribu perawan
hati tak jatuh
Analisis:
pada puisi ini banyak pengulangan bunyi yang diucapkan seperti contoh kuitpan
diatas yang memiliki bunyi yang sama diulang kembali.
-
Ritme adalah pengulngan
bunyi, kata, dan kalimat. Pada bait:
Dengan seribu gunung langit tak
runtuh
Dengan seribu perawan hati tak jauh
Dengan seribu beringin ingin tak
teduh
Analisis:
Jelas pada bait diatas terdapat pengulangan bunyi uh diakhir
kalimat, pengulangan kata dengan seribu pada kalimat
awal, tetapi tidak ada pengulangan kalimat.
-
Metrum adalah pengulangan
tekanan kata yang tetap/irama yang tetap menurut pola tertentu. Pada bait:
Mengapa jam harus berdenyut sedang
darah tak sampai
Mengapa gunung harus meletus sedang
langit tak sampai
Analisis:
terdapat pengulangan tekanan kata.
6. Sarana retorika
Untuk
mendapatkan intensitas dan ekspresivitas, Sutardji menggunakan sarana retorika
juga. Sarana retorika yang paling menonjol dalam sajak-sajaknya ialah ulangan.
Ulangan-ulangan dalam sajak Sutardji
bermacam-macam. Namun, semuanya itu hampir berupa ulangan yang
berlebih-lebihan. Ulangan ituberupa ulangan suku kata, kata, frase, dan
kalimat. Yang terbanyak adalah ulangan pola kalimat yang berupa persetujuan
(paralelisme) atau juga penjumlahan pada bait:
batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu jarum
batu bisu
Analisis: Pada sajak “Batu”, dapat kita lihat pengulangan kata batu
di posisi awal.